Sengketa Tanah Kembali Membara: Abdul Kalim Laporkan PT Malindo ke Polisi, Tuduh Ada Penyerobotan dan Pemalsuan Surat

Hukum471 Dilihat

GROBOGANPortalMuria.com – Konflik agraria kembali menyeruak di Kabupaten Grobogan. Abdul Kalim (73), warga Desa Harjowinangun, Kecamatan Godong, akhirnya resmi melaporkan PT Malindo Feedmill, Tbk ke Reskrim Polres Grobogan pada Rabu (17/9/2025). Laporan ini bukan sekadar aduan biasa, melainkan tuduhan serius: dugaan penyerobotan tanah milik Abdul Kalim yang sah secara hukum.

Tanah dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 819 atas nama Pardi Bin Kasan, seluas 1.420 meter persegi, disebut telah berdiri bangunan milik PT Malindo sejak 13 tahun lalu. Ironisnya, hingga hari ini pemilik tanah mengaku tak pernah menerima sepeser pun uang ganti rugi.

“Sejak awal,saya bersama Pak Sukirman berjuang dan memperjuangkan hak saya yang jelas belum dibayar. Tapi PT Malindo malah enak-enakan mendirikan bangunan di atas tanah saya. Lebih parah, justru saya yang dilaporkan dengan tuduhan melawan hukum,” tegas Abdul Kalim dengan nada getir.

Sukirman, adalah salah seorang perangkat desa yang ikut serta  mendampingi Abdul Kalim , Ia menegaskan bahwa PT Malindo tidak memiliki dasar hukum yang sah.

“Sampai sekarang tidak ada bukti pembayaran, tidak ada Akta Jual Beli (AJB). Sertifikat asli SHM 819 masih di tangan Abdul Kalim. Pengecekan ke Kantor Pertanahan Grobogan juga jelas: status tanah tidak pernah berpindah. Letter C desa pun masih tercatat atas nama Pardi Bin Kasan,” ungkapnya.

Pengecekan di notaris bahkan memperkuat fakta tersebut. Semua dokumen hukum menunjukkan kepemilikan sah tetap berada pada keluarga Abdul Kalim.

Abdul Kalim di dampingi Sukirman dan Ketua Ajicakra Indonesia, Tri Hutomo saat membuat laporan di Polres Grobogan

Kasus ini kini mendapat pendampingan serius dari Ajicakra Indonesia. Ketua Ajicakra, Tri Hutomo, menyebut laporan ini bukan sekadar sengketa perdata, melainkan dugaan pidana serius.

“Kami melaporkan dugaan tindak pidana penguasaan tanah tanpa hak, penyerobotan, hingga pemalsuan surat. Fakta yang ada jelas: HGB Nomor 10 atas nama PT Malindo terbit 2012, sementara Hak Milik Nomor 819 sudah ada sejak 1983. Secara hukum, Hak Milik lebih kuat dari HGB. Maka, HGB Malindo harus dibatalkan,” tegas Tri Hutomo.

Ajicakra menuding ada indikasi praktik mafia tanah yang berusaha melemahkan masyarakat kecil demi kepentingan korporasi.

Dalam laporannya, Abdul Kalim dan tim hukumnya mendasarkan aduan pada pasal 385 KUHP tentang penguasaan tanah tanpa hak, pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat, hingga Perpu Nomor 51 Tahun 1960. Jika terbukti, sanksi pidana bisa menjerat pihak-pihak yang terlibat, termasuk perusahaan besar sekalipun.

Kasus ini pun menjadi sorotan lantaran menguji prinsip dasar: apakah hukum benar-benar adil untuk semua warga negara, atau hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas.

“Kami berharap jangan ada diskriminasi hukum. Warga kecil seperti Abdul Kalim berhak mendapatkan perlindungan yang sama. Mafia tanah harus ditindak, hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu,” pungkas Tri Hutomo.

Kini, bola panas berada di tangan aparat penegak hukum. Publik menunggu, apakah Polres Grobogan berani menuntaskan kasus ini dengan adil, atau justru kasus ini akan terkubur dalam permainan hukum yang sarat kepentingan.

(Red.)