Bupati Jepara Turun Gunung, Warga Tambak Rejo Tuntut Keadilan atas Sengketa Lahan Sempadan Pantai

Berita, Jepara608 Dilihat

JEPARAPortalMuria.com – Persoalan sengketa lahan di sempadan pantai Tambak Rejo, Desa Mulyoharjo, kembali memanas. Setelah audiensi bersama Bupati Jepara pada Senin (15/9/2025), hari ini, Selasa (16/9/2025), Bupati Jepara bersama Forkopimda, ATR/BPN Jepara, perangkat desa, serta warga turun langsung meninjau lokasi.

Sengketa ini berawal dari perjanjian sewa-menyewa lahan SHM (Sertifikat Hak Milik). Namun, setelah batas waktu berakhir pada Juni lalu, penyewa justru tidak meninggalkan lokasi. Alih-alih menghormati kesepakatan, penyewa malah melaporkan pemilik sah dengan tuduhan “menyewakan lahan negara”. Tuduhan itu sontak memicu reaksi keras dari warga Tambak Rejo.

Etika Bisnis Dipertanyakan

Warga menilai, penyewa yang mengklaim lahan dengan dalih hukum seolah melupakan etika bisnis. “Kalau kontrak selesai, ya tinggalkan. Jangan malah menyerang pemilik. Itu logika sederhana yang dipahami masyarakat,” ujar salah satu tokoh warga.

Situasi ini menyingkap problem klasik: ketika investor dari luar masuk, warga lokal kerap hanya jadi penonton di tanah sendiri. Padahal, warga Tambak Rejo sudah membentuk Perkumpulan Pengelola Sempadan Pantai Tambak Rejo Mulyoharjo, dengan visi membangun kawasan itu sebagai destinasi wisata berkelanjutan berbasis kearifan lokal.

Bupati Jepara saat menemui warga Tambak Rejo

Pariwisata Berbasis Warga, Bukan Penonton

Model pengelolaan warga dinilai lebih pro-rakyat, sebab mereka memprioritaskan keluarga miskin penerima PKH untuk diberdayakan. Artinya, manfaat ekonomi tidak hanya dinikmati segelintir pihak luar, tetapi benar-benar kembali ke masyarakat pesisir.

“Jangan sampai warga hanya jadi buruh atau penonton di tanah sendiri. Kami ingin pantai ini dikelola secara beretika, berpihak pada rakyat kecil,” tegas perwakilan warga.

Pemerintah Dituntut Tegas

Kehadiran Bupati Jepara bersama jajaran Forkopimda di lokasi diharapkan tidak berhenti sebatas formalitas. Warga mendesak pemerintah bersikap tegas terhadap pihak yang melanggar kontrak dan mengganggu kondusivitas wilayah.

Sebab, bagi masyarakat pesisir, lahan sempadan bukan sekadar tanah, melainkan ruang hidup, sumber ekonomi, dan identitas. Bila dikuasai pihak luar tanpa etika, konflik horizontal dikhawatirkan sulit terhindarkan.(Red.)