Oleh: H.M. Zaim Jaelani ( Ketua Aswaja CENTER,PATI )
Banyak orang di luar pesantren sering kali tidak memahami secara utuh kultur Kyai dan kehidupan di pesantren. Di mata sebagian masyarakat modern, hubungan antara Kyai dan santri kadang disalahartikan sebagai hubungan feodal atau bahkan patron-klien. Padahal, pandangan semacam itu terlalu sempit—karena melihat tradisi pesantren hanya lewat kacamata ekonomi dan politik, bukan dari sisi keilmuan dan spiritualitas yang melatarinya.
Seorang Kyai mengabdikan hampir seluruh waktunya untuk mengajar dan mendidik generasi muda. Dari pagi hingga malam, beliau tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tapi juga membentuk karakter, akhlak, dan semangat perjuangan para santri. Di luar pesantren, para Kyai juga hadir dalam berbagai kegiatan sosial dan kebudayaan masyarakat, menunjukkan kepedulian mereka terhadap kehidupan umat secara nyata.
Dalam tradisi pesantren, sudah menjadi hal biasa jika seseorang datang “sowan” ke Kyai, entah karena memiliki hajat, ingin meminta doa, atau sekadar mencari berkah (tabarrukan). Kadang, tamu itu memberikan amplop kepada Kyai, bukan karena diminta, apalagi diwajibkan. Amplop itu adalah simbol rasa hormat, bentuk takzim, dan ungkapan terima kasih atas doa dan ilmu yang telah diberikan.
Namun sayangnya, praktik sederhana yang sarat makna ini kerap disalahpahami. Ada yang menganggapnya sebagai bentuk feodalisme atau ketergantungan material. Padahal, mereka yang memberi amplop melakukannya dengan tulus dan penuh rasa bangga karena bisa berkontribusi, sekecil apa pun, kepada perjuangan Kyai dan pesantrennya.
Amplop itu tidak sebanding dengan nilai ilmu, doa, dan bimbingan spiritual yang diberikan seorang Kyai. Bahkan sering kali, uang dalam amplop tersebut kembali lagi untuk kepentingan umat: membangun fasilitas pesantren, membantu santri, atau kegiatan sosial lainnya.
Inilah yang sering luput dari pandangan luar. Hubungan santri dengan Kyai bukan sekadar relasi sosial, tapi ikatan batin dan keilmuan yang dalam, melebihi kedekatan keluarga sekalipun. Di situlah letak keindahan tradisi pesantren yang perlu dipahami dengan hati, bukan dengan kalkulator ekonomi.