Pemkab Kudus Terapkan Outsourcing 2026, Ratusan Honorer Terancam Tersingkir

Berita, Kudus86 Dilihat

KUDUSPortalMuria.com – Ratusan tenaga non Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kabupaten Kudus segera memasuki babak baru. Bukan diangkat sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), melainkan diarahkan ke jalur outsourcing mulai 2026 mendatang.

Kepala BKPSDM Kudus, Putut Winarno, mengungkapkan masih ada sekitar 600-an pegawai non ASN yang bertahan di lingkungan Pemkab. Mayoritas di antaranya adalah guru, sekitar 400 orang, sisanya 200-an merupakan tenaga teknis.

“Seleksi PPPK 2024 harapannya Kudus sudah zero non ASN. Tapi kenyataannya masih ada ratusan orang yang belum terselesaikan,” kata Putut, Senin (15/9/2025).

Outsourcing: Jalan Tengah atau Jalan Buntu?

Pemkab Kudus menyiapkan outsourcing di tiga bidang: keamanan, kebersihan, dan sopir. Artinya, pegawai non ASN yang kini bertugas di berbagai Organisasi Perangkat Daerah (OPD) akan ditawarkan untuk melamar sesuai kuota kebutuhan.

“Kalau tidak bersedia, ya terpaksa mengundurkan diri,” tegas Putut.

Bagi tenaga teknis, opsi ini mungkin masih terbuka. Namun bagi ratusan guru honorer, masa depan mereka kian kabur karena pembahasan masih menggantung di meja dinas terkait.

Dari Moratorium Hingga Outsourcing

Sejak 2022, Pemkab Kudus sudah menutup keran rekrutmen honorer lewat serangkaian aturan: Surat Edaran Bupati (2022–2023), Peraturan Bupati Januari 2024, hingga SE Sekda. Tak ada lagi istilah GTT, PTT, kontrak, atau wiyata bhakti.

Kini, skema outsourcing muncul sebagai “pelampung” agar tak terjadi pemutusan kerja mendadak. Namun, di sisi lain, mekanisme ini justru menimbulkan pertanyaan:

  • Apakah outsourcing akan benar-benar melindungi hak tenaga non ASN?
  • Ataukah sekadar cara halus mendorong mereka keluar dari sistem birokrasi?

Nasib Guru Honorer di Ujung Tanduk

Bagi guru yang belum lolos PPPK, bayang-bayang ketidakpastian makin besar. Apalagi, jika outsourcing hanya berlaku untuk tenaga kebersihan, keamanan, dan driver.

Mereka yang selama ini mengajar dan mendidik, bisa jadi terpaksa meninggalkan profesinya atau mencari pekerjaan di luar jalur pendidikan.

Kebijakan ini, ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, dianggap solusi. Di sisi lain, bisa jadi pintu keluar “terhormat” bagi para honorer yang puluhan tahun mengabdi, tapi belum juga diakui negara.

(Red.)