“Wong Jowo Ojo Ilang Jowone”: Doa, Filosofi, dan Identitas yang Tak Boleh Pudar

Lifestyle36 Dilihat

PortalMuria.com – Di tengah derasnya arus modernisasi dan globalisasi, sebuah doa Jawa kuno kembali menyeruak di ruang publik:

“Ibu Bumi Bopo Angkoso, Kakang Kawah Adi Ari-Ari, Papat Kiblat Limo Pancer, Sedulur Tuo Sedulur Enom, Nini Among Kaki Among, Seng Momongi Jiwo Rogoku…”

Bagi sebagian orang, deretan kalimat itu hanya dianggap mantra atau sekadar penggalan doa. Namun, di baliknya terkandung falsafah hidup orang Jawa yang begitu dalam: hubungan manusia dengan alam, leluhur, diri sendiri, dan Sang Pencipta.

Kearifan yang Terlupakan

Doa ini mencerminkan betapa orang Jawa sejak dulu tak pernah memisahkan hidupnya dari alam. “Ibu Bumi Bopo Angkoso” adalah pengakuan akan bumi sebagai ibu dan langit sebagai bapak. “Kakang Kawah Adi Ari-Ari” mengingatkan manusia agar tak melupakan asal usul kelahirannya. Sementara “Papat Kiblat Limo Pancer” menjadi simbol arah hidup: empat penjuru mata angin yang berpusat pada diri, menuntun agar manusia selalu sadar akan jati dirinya.

Modernisasi vs Identitas

Sayangnya, filosofi adiluhung itu perlahan tergerus. Banyak generasi muda Jawa lebih fasih melafalkan bahasa asing daripada memahami doa dan falsafah yang diwariskan leluhur. Di sinilah ungkapan legendaris “Wong Jowo Ojo Ilang Jowone” menemukan relevansinya.

Lebih dari sekadar slogan, kalimat itu adalah peringatan: jangan sampai orang Jawa kehilangan “Jawa”-nya. Jawa bukan sekadar bahasa, melainkan cara pandang, sikap hidup, dan laku spiritual yang penuh keluhuran.

Doa yang Menjadi Perlawanan

Maka ketika doa ini diucapkan, ia bukan hanya permohonan kepada Yang Maha Kuasa. Ia adalah bentuk perlawanan halus terhadap zaman: sebuah pengingat bahwa modernisasi tak harus menghapus akar budaya. Justru dengan berpegang pada nilai luhur Jawa, manusia bisa tetap tegak berdiri meski diterpa gelombang globalisasi.

“Nyuwun Bismillah opo seng dadi pandongaku, bakal kawujud… Aamiin Ya Rabbal ‘Alamin.”

Doa itu menutup dengan kalimat Islami, menandakan akulturasi indah antara budaya Jawa dan agama yang menyatu tanpa saling meniadakan.

Wong Jowo Ojo Ilang Jowone!

Inilah pesan utama yang layak digaungkan kembali. Bukan untuk melawan kemajuan, melainkan untuk memastikan bahwa kemajuan tidak merenggut jati diri. Bahwa di tengah gedung pencakar langit, teknologi canggih, dan dunia serba instan, falsafah Jawa tetap bisa menjadi pelita hidup.

Karena orang Jawa tanpa “Jawa”-nya, hanyalah tubuh tanpa jiwa.

(Red.)