Pajak: Dari Alat Penindasan Kolonial Hingga Penopang Negeri

Sejarah135 Dilihat

PortalMuria.com

Pajak hari ini identik dengan kewajiban warga negara untuk membiayai pembangunan. Namun, di balik angka-angka yang kita setorkan ke kas negara, ada jejak panjang sejarah kelam yang menorehkan luka. Sejarah pajak di Indonesia bukan sekadar catatan ekonomi, melainkan kisah pengendalian, eksploitasi, dan perjuangan rakyat melawan ketidakadilan.

Pajak dalam Genggaman VOC

Ketika Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) menguasai Nusantara pada abad ke-17, pajak tidak hanya berarti pungutan. Ia menjadi simbol cengkeraman. Rakyat dipaksa menyerahkan rempah dengan harga murah, bahkan sering tanpa imbalan sepadan. Pajak kala itu bukan angka di buku administrasi, melainkan kehilangan hak hidup.

Cultuurstelsel: Pajak yang Menguras Darah

Puncak eksploitasi terjadi pada 1830, saat Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch memperkenalkan Cultuurstelsel atau tanam paksa. Rakyat harus menanam kopi, tebu, dan nila di sebagian besar tanah mereka, lalu menyerahkannya kepada pemerintah kolonial. Apa yang disebut “kontribusi” ternyata menjadi kutukan: lahan pangan menyusut, kelaparan meluas, desa-desa porak-poranda. Pajak berubah menjadi cambuk yang melukai perut rakyat.

Pajak Tanah: Warisan yang Tak Adil

Sebelum tanam paksa, Thomas Stamford Raffles pada masa Inggris (1811–1816) memperkenalkan landrente atau pajak tanah. Sistem ini kemudian dipertajam Belanda: rakyat dikenai pajak atas tanah yang bahkan tidak selalu produktif. Ironisnya, mereka dipaksa membayar untuk lahan yang justru sering tak memberi hasil.

Pajak sebagai Pemantik Perlawanan

Ketidakadilan itu memicu api perlawanan. Dari Priangan hingga Sumatra, petani bangkit melawan beban pajak yang menjerat leher. Pajak kolonial bukan sekadar kewajiban, melainkan simbol penindasan yang melahirkan gelombang pemberontakan.

Dari Penindasan ke Pembangunan

Pasca-kemerdekaan, wajah pajak berubah. Indonesia mengadopsi sistem perpajakan modern yang berorientasi pada pembangunan, bukan eksploitasi. Namun, sejarah tetap menjadi pengingat: pajak pernah menjadi alat untuk merampas, bukan menyejahterakan.

Hari ini, pajak adalah nadi pembangunan negeri. Jalan, sekolah, rumah sakit—semua berdiri di atas kontribusi rakyat. Tetapi, sejarah kolonial mengajarkan satu hal penting: keadilan dalam pajak bukan pilihan, melainkan harga mati.

(Red.)