Pati,PortalMuria.com – Seluruh Indonesia berpesta demokrasi dalam pilkada untukmemilih bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota dan gubernur/wakil gubernur, Rabu, 27 November 2024, sebagaibentuk pengejawentahan Pasal 101 UU no. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, disebutkan bahwa pemungutan suara Pilkada2024 dijadwalkan akan dilaksanakan pada bulan November 2024. Ini adalah pertama kalinya sejak era reformasi bahwapilkada dilakukan secara serentak di seluruh Indonesia.
Pertama kali secara serentak tentu akan memunculkan banyakperistiwa baru yang berbeda dengan pilkada sebelumnya yang biasanya hanya fokus pada satu pemilihan saja. Kalau biasanya pilkada kabupaten khusus pemilihan bupati/wakil, kalau pilkada provinsi hanya pemilihan gubernur/wakil, akantetapi ini digabung antara kabupaten/kota dengan provinsisekaligus, artinya setiap orang akan diberi dua lembar suratsuara yaitu pasangan calon bupati/walikota sekaligusGubernur.
Sungguh menarik untuk diperbincangkan kali ini, bukan pada aturan dan tatalaksana pelaksanaan pilkadanya, tapi justrupada fenomena lapangan mulai dari keadaan dan perilakupasangan calon, partai pengusung dan juga rakyat sebagaipemegang hak suara, yang seolah memunculkan corak dan pola budaya baru dalam sejarah demokrasi kita. Fenomena“mahar” surat rekomendasi, amplop “serangan fajar” sebagaijual-beli suara, dan lain-lain. Sampai-sampai terlontarpertanyaan yang menggelitik, masihkan demokrasi model begitu masih pantas disebut sebagai demokrasi Pancasila?.
“Ruang Gelap” Rekomendasi Partai
Salah satu persyaratan untuk mendaftarkan diri sebagaipasangan calon menurut UU No. 10 Tahun 1016 tentangPilkada adalah surat rekomendasi dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) partai. Syarat ini kalau dilihat dari perspektif bahwapilkada yang basisnya adalah semangat otonomi daerah yang desentralisasi, jelas ini kurang tepat, karena akan mematikanatau minimal melemahkan fungsi dewan pimpinan cabang(DPC) atau dewan pimpinan daerah (DPD) partai, yang seyognya akan lebih hidup dan bergairah jika suratrekomendasi pasangan calon dikeluarkan oleh DPC atau DPD sesuai tingkatan.
Dengan adanya surat rekomendasi partai yang dikeluarkanoleh DPP, tentu akan semakin menambah beban kerumitantersendiri oleh pasangan calon yang belum tentu sebagai kaderpartai itu sendiri, dan juga pasti menambah beban biaya yang jauh lebih besar. Seorang calon harus melewati tiga mejasekaligus, dari DPC, DPD/DPW dan DPP. Melewati tiga mejainilah “ruang gelap” rekomendasi itu terjadi, yang tidakmurah dan tidak mudah, tergantung oleh siapa yang membawa. Dalam proses negosiasi itu, dimulai daripendaftaran, lalu ada bimtek sebagai formalitas, juga adawawancara khusus, yang salah satu pertanyaan pentingnyaadalah seberapa besar dana yang disiapkan, kalau adapembuktian.
Kondisi ini juga diprihatinkan oleh salah satu pakar hukumkepemiluan Titi Anggraini, bahwa bakal calon kepala daerahsangat mungkin mengeluarkan uang banyak untukpembiayaan persaingan pilkada, karena salah satunya adalahsurat rekomendasi partai politik yang berlangsung sentralistikatau kembali ke tingkat pusat, dan situasi ini aneh karenaparpol punya struktur kepmimpinan dari tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Artinya ada tiga meja yang harus terlewati, meja Ketua DPC (Kabupaten/kota), KetuaDPD Provinsi, dan puncak finalnya di Ketua Umum DPP (Pusat).
Budaya Vote Buying
Disebut budaya karena hampir secara merata paktik jual-belisuara (vote buying) terjadi di seluruh pelosok negeri, baikyang terang-terangan maupun terselubung. Bahkan yang berkembang sekarang di lapangan hampir semua terang-terangan, ibaratnya kalau dulu disebut “serangan fajar” karenamasih ada rasa malu dan sembunyi-sembunyi, sekarangberubah jadi “serangan siang”, yang karena terang-terangandan tidak merasa sungkan lagi.
Anehnya lagi dalam praktik yang gamblang ini, lembaga yang semestinya bertugas mengawasi dan menangani pelanggaranpemilu, yaitu Bawaslu seolah membiarkan dan tidak adaupaya penanganan, apalagi sampai menindak. SetidaknyaBawaslu bekerjasama dengan polisi dan kejaksaan, harusberani lantang dan bersuara keras, untuk memperkarakanpraktik vote buying jika terjadi yang semakin terang-teranganseperti ini, karena menyangkut dengan masa depan demokrasidi negara ini.
Selain pemberian amplop/duit, banyak varian vote buyingseperti pembagian beras, gula, minyak, bensin, dan ongkos keTPS, dan lai-lain, yang memang tujuan utamanya untukmemperoleh dukungan dan imbal balik dari pemilik hak suarakepada pasangan calon yang memberi. Praktik ini jelas akanmengaburkan niat dan tujuan pilkada untuk memperolehpemimpin yang berkwalitas dan berkapasitas baik, dibelokkanpada sosok yang berani memberi sesuatu itu yang belum tentuberkwalitas dan berkapasitas baik.
Menurut kajian dan penelitian lapangan di sekitar daerahMuria Raya (Pati, Jepara, Kudus dan Rembang) seharisebelum hari H pilkada bergulir ini, hampir rata-rata besaranuang amplop Rp. 50.000,- per hak suaram ada yang lebihbesar jika diperlukan pertarungan di “daerah perang”. Bisa dibayangkan kalau misalnya Pati yang mempunyai daftar pemilih tetap (DPT) sebesar 1.036.887. Jelas semua pasanganakan mengeluarkan dana yang besar sekali, khusus untukstrategi pemenangan sebelum pelaksanaan pencoblosan, belum diawal ada biaya untuk “mahar” surat rekomendasipartai dan biaya sosialisasi/kampanye terbuka. Ada rumoryang berkembang di Pati, kalau pengen keluar sebagaipemenang harus disiapkan minimal dana sekitar 80 Milyar.
Nilai-nilai Pancasila dalam Demokrasi
Pancasila sebagai dasar dan nilai-nilai berbangsa dan bernegara semestinya harus menjadi pijakan utama dan landasan pokok dalam semua aktivitas stakeholder bangsa ini, yang nantinya terbentuk budaya Pancasila, yang pada akhirnya menciptakan Peradaban Pancasila. Pada Sila Pertama yang menjadikan Tuhan sebagai dasar utama, jelasmemberi orientasi bahwa semua perjalan aktivitas stakeholder bangsa ini menomor-satukan nilai-nilai Tuhan yang diajarkanoleh agama-agama, berprinsip pada kerahmatan dan perdamaian untuk tujuan kebaikan dan kelangsungankehidupan bersama. Artinya, saat melakukan kegiatan politikdan pemerintahan juga, harus tetap berprinsip pada nilai-nilaiTuhan yang mengajarkan kerahmatan dan perdamaian, bukanmelakukan apa saja yang penting menang, walau dengan jalanmenistakan dan melanggar hak-hak orang lain.
Sila Dua, yang menjadikan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab memberi panduan dan arah yang jelas, bahwa segalabentuk kegiatan atau aktivitas, termasuk juga politik, harusberprinsip pada nilai adil dan adab. Adil dalam arti memberikan dan pemenuhan hak yang tepat kepada semuaorang yang disesuaikan pada prinsip-prinsip hak asasimanusia. Tidak ada penindasan, pembodohan, perampasan, pengurangan dan penghilangan hak pada orang lain. Adab dalam arti etika dan moralitas yang harus dijunjung tinggi dan dilaksanakan dalam pergaulan antar sesama manusia. Dalam konteks politik, kita akan dianggap tidak adil dan beradabketika kita melakukan pelanggaran perundangan dan aturanyang disepakati bersama hanya demi memperolehkemenangan, dengan jalan apa saja, termasuk melakukanpraktik sogok “mahar” surat rekomendasi dan juga jual-belisuara (vote buying)
Sila Tiga, yang mengedepankan terwujudnya PersatuanIndonesia, memberi orientasi dan arah yang gamblang bahwaapapun tujuan dan kepentingan kita, yang beraneka ragam dan warna-warni, termasuk politik, harus mengarus utamakanpersatuan bangsa. Jangan sampai perbedaan kepentinganpolitik menjadikan kita bertengkar, berpecah belah dan bermusuhan.
Sila Empat lebih jelas lagi, karena ini berkaitan denganpanduan tatalaksana pemerintahan, yang harus berprinsippada kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah dan kebijaksanaan dengan pola permusyawaratan dan perwakilan. Hikmah atau kebijaksanaan menjadi metode utama untukmemandu dalam demokrasi Pancasila, yang memberilandasan bahwa silahkan melakukan proses politik apapunbentuknya, tapi harus menggunakan hikmah atau bijaksana, dalam arti menggunakan akal sehat, nalar yang benar dan proporsional.
Sila Lima, sebagai tujuan akhir adanya pemerintahan, berupaterwujudnya Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Ini mempertegas bahwa pemimpin yang dihasilkan daripilkada, harus ketika menjabat dan memimpin nantimengedepankan prinsip keadilan secara adil pada semualapisan masyarakat, tidak karena kelompoknya, keluarganya, partainya, pendukungnya, dan semacamnya. Semua hasil daripembangunan dan kekayaan daerah harus dinikmati secaraadil untuk semua lapisan Masyarakat, tanpa diskriminasiapapun.
Nilai Pilkada Sekarang?
Dillihat dari perspektif lapangan, yang hampir merata di semua daerah adanya praktik-praktik politik transaksionalseperti mahar surat rekomendasi (nomination buying) jual-belisuara (vote buying), mobilisasi ASN dan lain-lain, memangcukup mengkhatirkan dengan masa depan Nasib demokrasikita, apalagi jika nanti seolah sudah menjadi tradisi dan budaya. Pancasila yang menjadi dasar dan pedomanberbangsa dan bernegara ini, jelas dan terang berbicaratentang prinsip Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, hikmah/kebijaksanaan dan keadilan sosial, yang tentu tidakakan bisa menerima dan bertolak belakang dengan praktikmanipulative, menghalalkan segala cara, melanggar aturan, tidak adil dan mementingkan kepentingan pribadi, kelompokdan golongan.
Apalagi kalau lebih jauh lagi, jika sampai pertanyaanbagaimana kwalitas bupati/wakil yang hasil dari produkpilkada dengan berbiaya besar seperti itu?.
Memang akan sampai pada kesimpulan bahwa normal dan lazimnya sang bupati/wakil yang terpilih akan berupayamengembalikan biaya itu dengan berbgai cara. MenurutBahtiar Ujang Purnama, Direktur Koordinasi Supervisi KPK, Ada Lima modus korupsi kepala daerah, pertama mengenaipenerimaan daerah dan retribusi, pendapatan daerah daripemerintah pusat dan Kerjasama dengan pihak ketiga. Kedua, menyangkut belanja daerah, seperti pengadaan barang dan jasa, pengelolaan kas daerah, bansos, BUMD, dan pengelolaan asset. Ketiga, proses mutasi, rotasi dan promosipegawai di lingkungan pemda. Keempat, menyangkutperizinan, baik perizinan investasi, pembangun gedung, usaha, dan lain-lain. Kelima, melakukan pemungutan biaya (pungli) atau gratifikasi saat pengangkatan pegawai Non PNS yang digaji lewat APBD, kepala sekolah Negeri, SK perangkatDesa, dan lain-lain.
Kenyataan dimana-mana, hampir dapat dipastikan kemajuan-kemunduran, putih-hitam, baik-jelek, kemakmuran-kenestapaan di suatu kabupaten ditentukan 90% oleh Bupati.De facto, semua anggaran APBD ditentukan oleh bupati, walau formalitasnya melibatkan DPRD, akan tetapi usulan-usulan mayoritas dominan dari pemerintah, apalagi di ruangpelaksanaan anggaran di lapangan, termasuk belanja barang-jasa, pengerjaan proyek dan lain-lain, yang semua hampirdikerjakan dan dikontrol oleh orang-orang kepercayaannya, di sini praktik korupsi dan manipulasi terjadi secara massif dan teratur. Belum lagi soal mutasi, roling dan promosi jabatan di lingkungan pemda, juga pengangkatan pegawai, ASN, perangkat desa, dan lain-lain.
Saatnya kita bersuara, apakah demokrasi ala pilkada model sekarang ini masih masuk kategori demokrasi Pancasila???.(mz/080)
Saat Demokrasi Lupa Nilai-Nilai PANCASILA
Oleh:H.M. Zaim Jaelani Ketua ASWAJA CENTER PATI
