Pati, PortalMuria.com – Tinggal hitungan hari saja, pada Rabu, 27 November 2024 sekitar sore, secara quick count akan muncul siapa bupati/wakil bupati Pati periode 2024-22029. Sang pemenang pasti akan tersenyum dan bersuka cita, yang pasangan kalah sebaliknya akan murung dan sedih, bahkan merasa tidak percaya dengan hasilnya, begitu juga dengan timses dan pendukung masing-masing. Mungkin dalam rentang awal memimpin pasca pelantikan nanti, situasi euphoria dan romatisme bagi Bupati/wakil bupati yang baru akan dinikmatidan dilewati dengan senyum dan mesra, tapi belum tentu dalam waktu yang panjang, yang biasanya terjadi akan mulai ada gesekan dan perbedaan kepentingan antara bupati dan wakilnya, juga para petinggi partai pengusung dan tokoh-tokoh pendukung utama yang merasa berjasa besar untuk kemenangan meraka.
Bupati/wakli bupati yang terpilih dalam setiap langkahnya akan selalu dibayangi dalam benak pikirannya beban biaya besar yang telah dikeluarkan dalam semua proses dari awal sampai akhir, dari pendaftaran untuk surat rekomendasi, kampanye dan Upaya pendekatan-pendekatan khusus pada masyarakat untuk menguatkan elektabilitas, yang kesemuanya itu membutuhkan biaya yang teramat mahal. Ditambah lagi jika biaya-biaya itu semua bukan harta pribadi, tapi hasil hutang atau pinjaman dari pihak lain.
Lalu bagaimana dengan nasib rakyat dengan berbagai masalah yang mereka hadapi; soal ekonomi, kebutuhan Kesehatan, Pendidikan, hukum, berbagai pelayanan perizinan, dan lain-lain?.
Pemimpin Bukan Penguasa
Harapan terbesar kenapa pilkada dilakukan langsung oleh rakyat, agar yang nantinya terpilih adalah seorang pemimpin yang dikenal dekat dengan rakyatnya, sudah teruji dengan kemampuan, pengalaman, integritas dan prestasinya, juga mempunyai visi, misi dan pemikiran yang besar untuk mengembangkan dan memajukan Kabupaten Pati. Bukanmalah yang terpilih adalah seorang penguasa, yang di kepalanya hanya bagaimana menguasai dan mengatur sesuai kepentingannya pada semua sumber daya yang ada, baik sumber daya alam (SDA) maupun sumber daya manusianya (SDM), bahkan semua lembaga yang ada di kabupaten baik lembaga legislatif (DPRD), lembaga Yudikatif (Kehakiman, Kejaksanan dan kepolisian), dan lain-lain, dikondisikan dan dikontrol agar sesuai dengan untuk Hasrat, kepentingan dan tujuannya.
Hanya seorang yang bermental pemimpin yang mampu menciptakan good governance, tata laksana kepemerintahan yang demokratis, mentaati hukum dan aturan yang semestinya, selalu berorientasi pada kebaikan dan kemaslahatan untuk kepentingan umum, mengembangkan ide-ide yang berkemajuan dan kesejahteraan rakyatnya, dan menanggalkan kepentingan-kepentingan pribadi, kelompok dan golongan, demi kepentingan rakyat dan daerah yang dipimpinnya. Pemimpin yang tahu persis potensi-potensi yang dimiliki daerahnya secara detail, sekaligus mempunyai kemauan dan kemampuan menyiapkan metode dan cara yang solutif untuk mengolah dan memaksimalkan hasil agar memberi kontribusi signifikan untuk kepentingan pembangunan dan menambah pendapatan ekonomi rakyatnya.
Seorang Bupati yang bermental penguasa akan merasa dirinya yang berhak menguasai apapun yang ada di seluruhkabupaten itu, seolah semua harus tunduk dalam Hasrat dan keinginannya, aturan dan hukum dianggap hanya formalitas belaka, semua bisa diselesaikan lewat lobi dan transaksi di bawah meja, tanpa memperhitungkan etika dan moralitas yang berlaku, baik agama, sosial dan budaya. Lembaga legislatif yang sejatinya punya hak legislasi, anggaran dan pengawasan, ditundukkan dan dijinakkan dengan berbagai iming-imingkelonggaran anggaran, kunker, program-program titipan dan lain-lain, sehingga tidak kritis dan seolah tidak punya daya kekuatan lagi.
Pilkada Mahal Awal Problem
Bukan menjadi rahasia lagi bahwa seorang calon harus menyiapkan biaya yang tidak sedikit, agar terpilih menjadi pemenang pilkada ; pertama dimulai dari tahap pendaftaran dan negosiasi surat rekomendasi dari partai untuk mendaftar di KPU, yang ini juga memakan waktu, energi dan biaya yang tidak murah, kedua proses sosialisasi dan kampanye publik dan ketiga menyiapkan strategi-strategi pemenangan khusus, yang termasuk didalamnya adalah penyiapan amplop “serangan fajar” atau dikenal sebagai jual beli suara (vote buying) kepada pemilih langsung.
Dalam tahap pertama, pendaftaran dan negosiasi surat rekomendasi dari partai pengusung sebagai syarat untuk mendaftarkan diri di KPU, ini juga menjadi Langkah awal yang tidak kalah rumitnya, dan bahkan terkenal dengan “ruang gelap”, karena untuk mendapatkan rekomendasi ini tidak harus menjadi kader partai tersebut, dan tidak ada ukuran kapasitas dan track record yang jelas, standart dan spesifik dari pemohon. Banyak sosok yang tidak pernah berkiprah dalam masyarakat dan berjuang di daerah itu, tapi tiba-tiba dia terpilih untuk mendapatkan rekomendasi, karena dia berlatar pengusaha yang mumpuni secara finasial, kadang juga karena anak seorang pejabat.
Penentuan surat rekomendasi yang mempunyai hak, wewenang dan keputusan final penuh adalah Ketua Umumpartai di tingkat pusat (DPP), yang ini memunculkan banyak spekulasi dan rumor bahwa negosiasi harga mahar politik (nomination buying) akan terjadi, yang dalam bahasa halusnya sering disebut sebagai “biaya tim kampanye partai” dan semacamnya. Padahal secara terang UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu telah melarang pemberian dan penerimaan imbalan dalam proses pencalonan antara partai politik dan bakal kandidat. Lagi-lagi kita akan dihadapkan pada sulitnya pembuktian dalam praktik dalam “ruang gelap” seperti ini, karena semua tertata dengan halus dan rapi.
Dalam tahap kedua, sosialisasi dan kampanye. Sebagai upaya memenangkan sebuah pertarungan pemilihan, pasangan calon akan seluas dan sebanyak mungkin menampilkan diri agar dikenal baik oleh publik (popularitas) dan memantapkan kepada pemilik hak suara untuk memilih dirinya (elektabilitas). Kerja-kerja sosialisasi dan kampanye ini tidaklah mudah dan ringan karena harus mengatur waktu yang optimal, managemen tim yang handal dan efektif danpenyiapan visi-misi yang bagus, yang tak kalah pentingnya juga biaya yang besar, terutama pendekatan tokoh-tokoh, Alat Peraga Kampanye (APK) dan pertemuan tim-tim lapangan.
Tahap terakhir dan biasanya yang paling menentukan adalah tahap penyiapan strategi khusus pemenangan, yang biasanya disiapkan pada menjelang hari H pencoblosan. Strategi ini biasanya disebut sebagai “serangan fajar” atau pemberian amplop bahasa halusnya “sebagai ganti tidak kerja sehari” pada para pendukung dan orang-orang yang berpotensi untuk memberikan suaranya pada proses pencoblosan. Strategi ini dilakukan karena memang bagian dari Upaya merayu dan meminta dukungan yang super ampuh, apalagi budaya pendidikan politik masyarakat yang masih rendah dan bahkan di Pati sudah terkenal dengan adagium “ra wik ra obos”, tidak ada duit tidak akan mencoblos. Justru dalam strategi inilah, pasangan calon akan mengeluarkan dana ya paling banyak, dibanding tahap rekomendasi partai, dan tahap kampanye.
Jika ditotal keseluruhan dari tahap awal pendaftaran dan pengajuan surat rekomendasi, dilanjut sosialisasi dan kampanye, serta penyiapan strategi khusus akhir berupa “serangan fajar”, banyak rumor yang berkembang dan juga bocoran informasi dari beberapa tim pasangan calon, estimasi dana yang dibutuhkan minimal sekitar 80 milyar. Biaya yang tidak kecil, sebuah harga yang disiapkan untuk menjadi Bupati/wakil bupati Pati.
Pada akhirnya banyak yang bertanda tanya, dari mana nanti bupati mengembalikan uang sebanyak itu dan bagaimana caranya?, padahal hanya se level jabatan bupati, yang ruang lingkup hanya kabupaten saja ?.
Bagaimana Nasib Rakyat?
Jika bupati yang terpilih nanti digapai dengan biaya yang fantastis dan mahal seperti itu, secara lazimnya adalah bagaimana dia dengan segala akal-budi, memutar otak-pikiran dan usaha apapun akan dilakukan untuk mengembalikan semua biaya itu. Karena secara logika normal, tak akan mungkin dia mau merelakan dan mengikhlaskan semua biayaitu, dan memilih fokus menjadi bupati yang baik, sesuai aturan, tidak korupsi dan tidak doyan pungli. Setidaknya, bupati di tengah problematika kepemimpinan rutin hariannya, pasti sebagian isi kepalanya dalah bagaimana mengembalikan dana itu, mencari celah-celah aturan yang bisa dimainkan, sumber-sumper pendapatan selain dari gaji, tunjangan dan biaya taktis bupati.
Menurut Bahtiar Ujang Purnama, Direktur Koordinasi Supervisi KPK, Ada Lima modus korupsi kepala daerah, pertama mengenai penerimaan daerah dan retribusi, pendapatan daerah dari pemerintah pusat dan Kerjasama dengan pihak ketiga. Kedua, menyangkut belanja daerah, seperti pengadaan barang dan jasa, pengelolaan kas daerah, bansos, BUMD, dan pengelolaan asset. Ketiga, proses mutasi, rotasi dan promosi pegawai di lingkungan pemerindah daerah.Keempat, menyangkut perizinan, baik perizinan investasi, pembangun gedung, usaha, dan lain-lain. Kelima, melakukan pemungutan biaya atau gratifikasi saat pengangkatan pegawai Non PNS yang digaji lewat APBD, kepala sekolah Negeri, SK perangkat Desa, dan lain-lain.
Lalu, bagaimana dengan Nasib rakyat?. Sudah barang tentu, Nasib rakyat selain ditentukan oleh dirinya sendiri, juga ditentukan oleh pemimpin yang sedang memerintah, yang dalam konteks kabupaten adalah Bupati. Jika Bupati memang kepemimpinanya fokus untuk memikirkan rakyat, mulai membangun dan memajukan ekonominya, dengan tata laksana pemerintahan yang bersih, rapi dan disiplin yang berbasis pada kwalitas hasil, pelayanan Kesehatan, Pendidikan, perizinan dan lain-lain yang baik, maka nasib rakyat sungguh beruntung dan bersyukur mempunyai bupati yang baik. Namun jika dalam kepemimpinannya bupati, justru sibuk mencari keuntungan pribadi untuk bayar utang biaya pilkada, untuk keluarganya, atau kelompoknya, sudah barang tentu program pembangunan tidak akan maksimal berjalan, kebocoran anggaran ada dimana-mana, dan penyelewengan akan terjadi, yang pada ujungnya adalah Nasib rakyat akan dilupakan, tidak ada uluran tangan bimbingan dan bantuan solusi, tidak ada perhatian dan perlindungan, serta keadaan ekonomi rakyat yang tidak berubah atau malah akan lebih memprihatinkan.
Berkaca dari berbagai pengalaman yang sudah-sudah dan juga dari berbagai daerah lain, kwalitas bupati akan ditentukan oleh kwalitas pilkada yang telah dilaksanakan. Keterpilihan bupati yang ditentukan karena kwalitas pemikiran, visi-misi yang baik dan kepribadian yang unggul, maka akan menentukan arah kebijakan Pembangunan yang baik pula dan juga keberpihakan pada Nasib rakyat yang dipimpinnya. Akan tetapi jika keterpilihannya karena faktor besaran uang “amplop” yang diterima, maka kwalitas kepemimpinan akan rendah, program Pembangunan terbengkalai dan Nasib rakyat akan dikesampingkan dan kurang diperhatikan, semoga tidak akan terjadi seperti itu, aamiiin.